Mengapa Visa Haji Furoda dan Mujamalah Sulit Keluar Bahkan Tidak Ada di Tahun 2025
Tahun 2025 menjadi tahun yang penuh kekecewaan bagi ribuan calon jemaah haji Indonesia yang berharap dapat menunaikan ibadah melalui jalur haji furoda atau mujamalah. Pemerintah Arab Saudi secara resmi tidak menerbitkan visa haji furoda pada musim haji 1446 Hijriah/2025 Masehi, meninggalkan lebih dari 1.000 calon jemaah haji Indonesia dalam ketidakpastian setelah mengeluarkan dana ratusan juta rupiah untuk persiapan keberangkatan mereka.
Keputusan penutupan penerbitan visa ini bukan hanya menimpa Indonesia, melainkan dialami oleh calon jemaah dari berbagai negara di seluruh dunia. Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama RI, Hilman Latief, mengonfirmasi bahwa Arab Saudi telah menutup proses penerbitan visa haji—termasuk visa furoda dan mujamalah—pada 26 Mei 2025 pukul 13.50 waktu setempat.
Memahami Haji Furoda dan Mujamalah
Sebelum membahas penyebab kesulitan penerbitan visa, penting untuk memahami apa sebenarnya haji furoda dan mujamalah. Haji furoda adalah program haji yang menggunakan visa mujamalah, yaitu visa undangan resmi yang dikeluarkan langsung oleh Pemerintah Arab Saudi di luar kuota haji reguler yang diberikan kepada setiap negara. Program ini memungkinkan calon jemaah berangkat tanpa harus menunggu antrean panjang haji reguler yang bisa mencapai puluhan tahun.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, haji furoda atau mujamalah diakui sebagai jalur legal untuk menunaikan ibadah haji. Berbeda dengan haji reguler yang dikelola sepenuhnya oleh Kementerian Agama RI, haji furoda merupakan jalur khusus yang penerbitan visanya sepenuhnya berada di bawah kewenangan Kerajaan Arab Saudi.
Sebenarnya, istilah "furoda" dan "mujamalah" merujuk pada visa yang sama, yakni visa undangan resmi dari Arab Saudi. Perbedaannya hanya terletak pada sumber undangan yang diperoleh. Visa furoda biasanya diperoleh melalui maktab amir atau undangan dari keluarga besar Kerajaan Arab Saudi, sementara visa mujamalah diperoleh dari lembaga pemerintah Saudi seperti Kementerian Haji, Kedutaan Besar Saudi, atau diberikan kepada institusi tertentu seperti Majelis Ulama Indonesia, TNI, dan Polri.
Penyebab Utama Kesulitan dan Ketiadaan Visa Furoda Tahun 2025
Reformasi Digital dan Penataan Sistem Penyelenggaraan Haji
Salah satu faktor utama tidak terbitnya visa haji furoda di tahun 2025 adalah upaya reformasi digital dan penataan sistem penyelenggaraan haji yang dilakukan oleh Pemerintah Arab Saudi. Kerajaan Arab Saudi sedang melakukan transformasi besar-besaran dalam pengelolaan ibadah haji untuk meningkatkan keamanan, kenyamanan, dan efisiensi pelayanan kepada jutaan jemaah.
Pemerintah Arab Saudi telah mengimplementasikan sepenuhnya platform digital Nusuk Masar pada musim haji 2025 sebagai fondasi pengelolaan layanan jemaah dari seluruh dunia. Sistem digital ini mengintegrasikan seluruh proses mulai dari pendaftaran, penerbitan visa elektronik, hingga pelaporan realisasi layanan. Digitalisasi ini bertujuan untuk meningkatkan transparansi dan ketertiban dalam penyelenggaraan ibadah haji yang dihadiri jutaan jemaah setiap tahunnya.
Minimnya Transparansi dalam Penerbitan Visa Furoda
Mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengungkapkan bahwa praktik pemberian akses haji furoda telah bergeser dari ketentuan awal. Awalnya, visa furoda harus berasal dari undangan resmi yang disertai penyediaan fasilitas haji oleh pemerintah Saudi, namun kini telah berubah menjadi perjanjian bisnis antara agen perjalanan dengan Pemerintah Arab Saudi.
Lukman menyatakan bahwa penerbitan visa haji furoda penuh dengan ketidakpastian dan minim transparansi. Pemerintah Indonesia tidak memiliki informasi jelas mengenai siapa pihak yang mengundang, siapa yang diundang, dan berapa jumlah visa yang akan diterbitkan. Ketidakjelasan ini menjadikan perdagangan paket haji dengan visa furoda dikategorikan sebagai 'gharar' dalam hukum Islam yang mengandung unsur spekulatif karena ketidakpastian.
Akibat minimnya transparansi ini, sering terjadi saling lempar tanggung jawab antara calon jemaah haji, Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK), pemerintah Indonesia, dan pemerintah Arab Saudi ketika visa tidak terbit hingga menjelang puncak ibadah haji. Situasi ini bahkan berpotensi mengancam hubungan diplomatik antara Indonesia dan Arab Saudi.
Keterbatasan Kuota dan Hak Prerogatif Kerajaan
Penerbitan visa mujamalah sepenuhnya berada di bawah kewenangan Pemerintah Arab Saudi dan bersifat tidak pasti. Sebagai visa undangan khusus, keberadaannya sangat tergantung pada kebijakan dan keputusan Kerajaan Arab Saudi yang dapat berubah sewaktu-waktu. Tahun 2025, Kerajaan memutuskan untuk tidak menerbitkan visa furoda, kemungkinan berkaitan dengan upaya menjaga pelaksanaan haji yang lebih tertib dan menyesuaikan kapasitas, khususnya di area Mina yang sangat terbatas.
Wakil Kepala Badan Penyelenggara Haji, Dahnil Azhar Simanjuntak, menjelaskan bahwa musim haji 2025 berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya di mana pemerintah Arab Saudi masih memberikan visa haji furoda. Alasan tidak terbitnya visa furoda tahun ini adalah untuk menjaga agar pelaksanaan haji semakin tertib dan lebih baik.
Menteri Agama Nasaruddin Umar juga menegaskan bahwa keterlambatan bahkan ketiadaan penerbitan visa haji furoda bukan merupakan wewenang Kementerian Agama, melainkan ranah otoritas Arab Saudi. Oleh karena itu, Kementerian hanya dapat terus melakukan komunikasi intensif dengan Kerajaan Arab Saudi mengenai masalah ini.
Pola Penerbitan Visa yang Tidak Menentu
Berdasarkan pengalaman tahun-tahun sebelumnya, visa haji furoda memang selalu menjadi yang paling akhir terbit dibandingkan program haji reguler dan haji khusus. Visa furoda biasanya baru keluar pada akhir bulan Syawal hingga awal bulan Dzulhijjah, atau sekitar dua hingga satu minggu sebelum puncak pelaksanaan ibadah haji. Ketidakpastian waktu penerbitan ini membuat proses keberangkatan jemaah haji furoda sering berlangsung sangat mendadak dan dekat dengan jadwal pelaksanaan ibadah haji.
Pada tahun 2025, hingga tanggal 1 Dzulkaidah 1446 Hijriah atau sebulan menjelang puncak haji, visa haji furoda belum menunjukkan kejelasan. Padahal pada tahun sebelumnya, visa furoda sudah bisa keluar pada bulan Ramadan. Namun tahun ini berbeda, hingga 30 hari jelang puncak haji visa furoda belum ada kejelasan sama sekali.
Masalah Penyalahgunaan dan Penipuan
Praktik penyelenggaraan haji furoda juga kerap diwarnai dengan kasus-kasus penipuan yang merugikan calon jemaah. Beberapa oknum biro travel nakal menawarkan paket haji furoda dengan iming-iming biaya murah, namun visa yang disediakan tidak valid atau bahkan palsu. Pada tahun 2023, ratusan jemaah asal Indonesia ditolak masuk ke Arab Saudi karena visa mujamalah yang mereka gunakan tidak terdaftar secara resmi di sistem imigrasi Arab Saudi.
Polda Metro Jaya pernah mengungkap kasus penipuan paket haji furoda yang dilakukan oleh tersangka berinisial SJA. Tersangka menjanjikan paket haji furoda VIP dengan fasilitas hotel bintang 5, namun dalam praktiknya korban menjadi haji 'backpacker' dan harus mengeluarkan biaya tambahan untuk penginapan dan kebutuhan haji lainnya. Korban mengalami kerugian hampir setengah miliar rupiah.
Kasus serupa juga terjadi di Morowali Utara, di mana tiga calon jemaah haji diduga menjadi korban penipuan dengan kerugian mencapai Rp860 juta. Para korban mendaftar program haji furoda dengan biaya Rp250 juta per orang pada tahun 2024, namun visa yang diterbitkan ternyata adalah visa work (kerja) bukan visa haji.
Dampak Ketiadaan Visa Furoda Tahun 2025
Kerugian Finansial Calon Jemaah
Ketiadaan visa haji furoda tahun 2025 berdampak sangat besar bagi ribuan calon jemaah yang telah mempersiapkan keberangkatan dengan biaya yang tidak sedikit. Banyak calon jemaah yang sudah membayar biaya perjalanan mencapai ratusan juta rupiah, bahkan ada yang membayar hingga Rp400 juta per orang. Biaya haji furoda memang jauh lebih tinggi dibandingkan haji reguler, dengan estimasi berkisar antara Rp300 juta hingga Rp1 miliar tergantung paket yang dipilih.
Komponen biaya haji furoda mencakup visa yang berkisar antara USD 1.000 hingga USD 3.000 (sekitar Rp15 juta - Rp45 juta), tiket pesawat Rp20 juta - Rp60 juta, akomodasi hotel Rp40 juta - Rp100 juta, serta transportasi lokal Rp5 juta - Rp15 juta. Dengan biaya sebesar itu, kegagalan keberangkatan tentu menimbulkan kerugian finansial yang sangat besar bagi calon jemaah.
Kerugian Penyelenggara Travel Haji
Tidak hanya calon jemaah, Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) atau biro travel haji juga mengalami kerugian finansial yang signifikan. Estimasi kerugian mencapai Rp1-2 miliar per kelompok jemaah karena persiapan seperti pemesanan tiket pesawat, hotel, dan layanan lainnya sudah dilakukan namun akhirnya menjadi sia-sia.
Salah satu travel haji dari Magelang mengalami dampak yang cukup berat. Dari 6 orang yang mendaftar haji furoda, hanya 2 yang visanya keluar, sedangkan 4 lainnya gagal berangkat dan harus menunggu satu tahun untuk mendaftar kembali. Sekretaris Jenderal Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (AMPHURI), Zaky Zakaria, menyatakan bahwa tahun 2025 merupakan pertama kalinya setelah sekian lama sistem furoda benar-benar tidak dibuka sama sekali.
Kekecewaan dan Dampak Emosional
Di balik kerugian materi, calon jemaah juga mengalami kekecewaan mendalam karena keinginan menunaikan rukun Islam kelima harus tertunda. Banyak di antara mereka yang sudah sangat berharap dapat segera berhaji tanpa harus menunggu antrean panjang haji reguler. Kekecewaan ini semakin berat ketika mereka menyadari bahwa uang yang telah dikeluarkan tidak dapat langsung dikembalikan atau prosesnya memakan waktu lama.
Solusi dan Perlindungan Hukum bagi Jemaah Terdampak
Pengembalian Dana dan Kompensasi
Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) mendorong opsi pengembalian dana (refund) yang berkeadilan bagi calon jemaah haji furoda yang terdampak kebijakan peniadaan visa tahun 2025, mengacu pada Undang-Undang Perlindungan Konsumen. BPKN menyarankan agar proses pengembalian dana mempertimbangkan perjanjian awal antara konsumen dan PIHK, serta mendorong PIHK untuk transparan dan melakukan musyawarah dengan konsumen.
Jika tidak ada perjanjian spesifik, BPKN mendorong pengembalian dana yang adil dengan mempertimbangkan biaya yang telah dikeluarkan PIHK, atau menawarkan opsi kompensasi lain seperti penundaan keberangkatan ke tahun berikutnya. Beberapa travel haji juga berkomitmen untuk memberangkatkan kembali jemaah di tahun depan atau mengembalikan dana jika jemaah tidak berkenan menunggu.
Pengawasan dan Penegakan Hukum
Anggota Komisi VIII DPR RI, Maman Imanul Haq, menekankan pentingnya pemerintah hadir untuk mengawasi proses pengembalian dana yang telah dibayarkan oleh jemaah kepada biro travel atau penyelenggara haji. Meskipun visa furoda bukan menjadi tanggung jawab pemerintah karena berada di luar kuota resmi, masyarakat tetap memerlukan pengawasan dan perlindungan hukum sebagai konsumen yang berhak mendapatkan pengembalian dana yang telah dibayarkan.
DPR RI berencana memanggil Kementerian Agama untuk meminta penjelasan resmi terkait situasi ini dan mendesak penegakan hukum terhadap pihak penyelenggara yang diduga lalai. Anggota Komisi VIII DPR RI, Muhammad Husni, juga mendukung penyusunan regulasi yang lebih komprehensif untuk mengatur sekaligus mengawasi pelaksanaan haji furoda melalui revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019.
Edukasi dan Kehati-hatian Calon Jemaah
Wakil Kepala Badan Penyelenggara Haji, Dahnil Azhar Simanjuntak, mengingatkan calon jemaah haji Indonesia untuk berhati-hati dan tidak tertipu dengan janji berbagai pihak termasuk dari oknum-oknum yang mengaku dapat memberikan visa haji furoda. Mengingat visa furoda sudah dipastikan tidak akan diterbitkan, calon jemaah harus waspada terhadap penawaran yang terdengar terlalu bagus untuk menjadi kenyataan.
Komisi Nasional Haji (Komnas Haji) mengimbau masyarakat untuk tidak menyalahkan pemerintah atas tidak terbitnya visa furoda tahun ini, karena hal tersebut merupakan pengaturan privat di luar sistem kuota resmi dan sepenuhnya menjadi kewenangan otoritas Arab Saudi. Ketua Komnas Haji, Mustolih Siradj, menyatakan bahwa situasi ini dapat menjadi kesempatan untuk mereformasi sistem furoda melalui revisi hukum untuk melindungi jemaah dari kerugian finansial atau sosial.
Masa Depan Haji Furoda
Kemungkinan Peniadaan Permanen
Kepala Badan Penyelenggara Haji, Mochammad Irfan Yusuf, mengungkapkan bahwa Arab Saudi memberikan sinyal tidak akan lagi menerbitkan visa haji furoda untuk Indonesia. Karena itu, dalam revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, tidak ada pembahasan spesifik mengenai haji furoda. Yang ada adalah haji dengan non-visa reguler dengan tujuan perlindungan atas jemaah haji Indonesia selama di Tanah Suci.
Mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin bahkan mengusulkan agar pemerintah Arab Saudi membatasi izin penggunaan visa haji nonkuota lewat visa mujamalah yang sangat dibatasi, dan meniadakan visa furoda yang rawan diperdagangkan. Lukman mendorong agar ibadah haji hanya dilaksanakan dengan visa kuota resmi dari Kementerian Agama dan visa nonkuota yang resmi dari pemerintah Arab Saudi.
Harapan untuk Tahun Mendatang
Meskipun terdapat sinyal kemungkinan peniadaan visa furoda, Kepala BP Haji menyatakan bahwa situasi masih sangat dinamis. Masih ada kemungkinan adanya haji jalur undangan dari Kerajaan untuk jemaah Indonesia di masa mendatang, meskipun dalam bentuk yang mungkin berbeda dari visa furoda sebelumnya.
Bagi calon jemaah yang gagal berangkat tahun 2025, masih terbuka peluang untuk mendaftar kembali di tahun 2026 dengan harapan situasi akan lebih jelas. Namun, mengingat ketidakpastian yang tinggi dan risiko yang ada, calon jemaah disarankan untuk mempertimbangkan jalur haji reguler atau haji khusus yang lebih pasti meskipun memerlukan waktu tunggu lebih lama.
Kesimpulan
Kesulitan bahkan ketiadaan visa haji furoda dan mujamalah di tahun 2025 disebabkan oleh berbagai faktor kompleks, mulai dari reformasi digital sistem penyelenggaraan haji oleh Arab Saudi, minimnya transparansi dalam penerbitan visa, keterbatasan kuota dan hak prerogatif Kerajaan, hingga masalah penyalahgunaan dan penipuan yang merugikan calon jemaah.
Situasi ini memberikan pelajaran penting bahwa haji furoda memiliki risiko ketidakpastian yang sangat tinggi karena sepenuhnya bergantung pada kebijakan Arab Saudi yang dapat berubah sewaktu-waktu. Calon jemaah harus benar-benar memahami risiko ini sebelum memutuskan menggunakan jalur furoda, serta memastikan memilih Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) yang benar-benar terpercaya dan terdaftar resmi di Kementerian Agama.
Ke depan, diperlukan regulasi yang lebih komprehensif untuk melindungi hak-hak calon jemaah haji, baik melalui revisi undang-undang maupun pengawasan yang lebih ketat terhadap penyelenggara ibadah haji. Transformasi digital yang dilakukan Arab Saudi juga diharapkan dapat meningkatkan transparansi dan kepastian dalam penyelenggaraan ibadah haji, sehingga tidak ada lagi pihak yang dirugikan, terutama para jemaah yang memiliki niat tulus untuk menunaikan rukun Islam kelima mereka.
